THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Kamis, 09 Desember 2010

cerpen persahabatan

cerpen- satu persahabatan dalam hidupku

Aku sedang berjalan kearah luar gang rumahku menuju sekolah. Tetapi sebelum aku berangkat sekolah, aku harus menunggu Dina yang sedang menuju kearah depan gangku. Kulihat kedepan sana tetapi tidak seorangpun tampak, ketika aku sedang menunggu Dina, aku melihat dua orang teman sekelasku berjalan kearahku. Ya… itu Lila dan Uswah. “ Hey Nad… kamu kaq belum berangkat sekolah seh?!! “ Tanya Lila kepadaku.“ owh iya neh aku sedang menunggu Dina. “ Jawabku.“ ohh kamu sedang menunggu Dina, tapi Nad 10 menit lagi sekolah masuk tau!! Kamu ga takut telat??? “ Tanya Uswah kepadaku.“ ya udah kalau geto kita berangkat sekolah bareng ya?!! “ pintaku kepada Lila dan Uswah. Merekapun mengiyakan ajakanku dan segera melangkahkan kaki untuk menaiki angkutan umum yang akan mengantarkan kami kesekolah.
**** “

NADIAAA…!!! “ teriak Dina sambil melangkahkan kaki dengan cepat kearahku.“ Eh… Dina?!! ““ Eh… Dina, Eh… Dina lagi, kamu koq ninggalin aku seh Nad??? Tadi tuh aku kerumahmu tapi kata kakakmu, kamu baru aja berangkat!!! ““ Mmm…Sorry deh, abis kamu lama seh “.“ iiihh… kan udah aku bilang tunggu sampai aku datang?!! ““ iya…iya…sorry, udah donk jangan marah marah terus, kaya nenek – nenek aja!!! “.“ enak aja! Kamu tuh yang kaya nenek – nenek!!! “ jawab Dina dengan tampang kesalnya. Melihat Dina mau marah-marah lagi, akupun berlari meninggalkan Dina menuju kelas dan duduk ditempatku, Dinapun berteriak – teriak sambil berlari-lari kecil kearahku dan melanjutkan ocehan – ocehan yang tadi tertunda. Aku dan Dina bersahabat sejak duduk disekolah menengah pertama kelas 1 hingga duduk disekolah menengah kejuruan kelas 2. Orang tuaku sangat akrab dengan Dina, begitupun sebaliknya. Sudah seperti saudaraku sendiri.
****“

Lila… Uswah… “ panggilku. “ ya Nad, ada apa?!! “ jawab Lila.“ nanti pulang bareng ya!!! “. “ oh itu, liat nanti aja ya!!! “ jawab Lila.“ oce dehh, Mmm… tapi besok berangkat bareng lagi ya??? Aku tunggu kalian berdua di tempat tadi, oce?!! “. “ oceee…!!! “ jawab mereka berdua dengan kompak. Semenjak kami sering pulang dan berangkat sekolah bersama, kami menjadi semakin akrab. Tidak hanya pulang dan berangkat sekolah saja kami bersama tetapi kemanapun dan acarapun kami selalu terlihat bersama. Dan sejak saat itulah satu persahabatan dalam hidupku tersulam kembali.
****“

koq Lila, Dina dan Uswah agak beda ya?? Apa mereka sedang ngerjain aku ya?!! “ aku duduk termenung dikelas yang masih kosong. “ Mmm… mungkin hanya perasaan aku saja kale ya?!! “ ujarku dalam hati. Aku merasa beberapa hari ini Lila, Dina dan Uswah agak cuek kepadaku. Mungkin karena sebentar lagi hari ulang tahunku. Padahal aku merasa karena mereka cuek kepadaku. “ Eh Nad… bengong aja kamu!!! “ ujar Uswah membuyarkan lamunanku. “ ah nggak koq!!! ““ oya Nad, besokhari minggu teman – teman sekelas ngajakinkita lari pagi bareng. Kamu ikut kan? “ Tanya Dina. “ gat au deh, lihat besok aja ya?!! MALEEZZ tau, masa liburan gene masih keluar juga…! Acara kelas lagee!!! ““ Nad pokoknya kamu harus ikut, kalau ga ikut dapet hukuman loh. “ Ujar Lila menakutiku. “ Memangnya anak SD… masih ada hukuman, udah pokoknya lihat bezok aja deh, ya.. ya..!!! “.“ YOII !!! “ jawab Uswah dengan singkat. Aku sudah menduga pazti mereka merencanakan sesuatu untukku esok hari. Aku merasa sangat penasaran dan agak sedikit takut. “ Aduh aku dating nggak ya besok??? Pasti mereka belez dendam deh ke aku karena kemarin yang nerjain mereka adalah aku!!! “ ucapku dalam hati.“ udah deh lihat besok aja…! Kalau aku dijemput ya aku pergi, tapi kalau aku ga dijemput ya aku nggak pergi!!! “ kataku dalam hati lagi dengan memejamkan mata untuk tidur walaupun dengan sedikit perasaan gelisah.

Tik…Tok…Tik…Tok…, tepat jam 12 malam tiba – tiba aku terbangun karena mendengar suara telepon berdering. Akupun dengan segera mengangkatnya. “ Hallo… “ sapaku.Tak ada jawaban dari seberang.“ Hallooo… “ aku menyapa sekali lagi.Masih tidak ada jawaban jawaban juga. “ HAPPY BIRTHDAY TO U HAPPY BIRTHDAY TO U HAPPY BIRTHDAY HAPPY BIRTHDAY, HAPPY BIRTHDAY NADIA…!!! Terdengar nyanyian dari seseorang di seberang sana.“thanks ya!!! “ aku terharu.“ Met ultah Nadia! Ketujuh belas ya? Semoga kamu tambah dewasa, tambah cantik dan tambah gokil!!! “ ujar Isti.“ Paztee..!! ““ Nad sorry neh aku ga bias telepon kamu lama – lama soalnya aku ngantuk! Kamu met tidur ya Nad, sorry ganggu, bye Nadia…!!! ““ Bye!!! “ Isti adalah kakak kelas disekolahku. Dia sangat baik kepadaku tetapi sejak ia lulus aku jarang sekali bertemu dengan sia mungkin bias dibilang tidak pernah lagi. Ya… mungkin dia sibuk dengan kegiatan barunya.
****“

iiihh.. Alarm berisik banged seh!!! Kan masih ngantuk?!! “ gerutuku. Akupun segera bangun dan beranjak merapikan diri. Walaupun berat dan malas sekali rasanya tetapi pagi ini aku harus pergi karena sudah mempunyai janji untuk lari pagi bersama teman sekelasku. Walaupun aku tahu kalu hari ini mereka sudah mempunyai rencana untuk mengerjaiku. “ Assalamu’alaikum…!!! ““ Wa’alaikumsalam… “ jawabku sambil membukakan pintu.“ Hey Nad?!! ““ Hey! ““ Gimana udah siap belum? Teman – teman udah nunggu kamu tuh!! ““ Iya.. Iya.. sabar donk!!! “ kataku sambil melangkahkan kakiku kearah timur. Ternyata teman – teman sekelasku tidak dating semua pagi ini dan ternyata dugaanku tentang semua itu salah, merekatidak mengerjaiku. Aku merasa sangat senang. “ Upss.. tapi tunggu sebentar, sebuah telur mendarat dengan tepat diatas kepalaku!!! “. Akupun berteriak dan mengejar-ngejar Uswah dan teman yang lainnya. Merekapun semua berlari menjauhiku.
****

" Assalamua’laikum…!!! Uswah… Uswah… “ Ucapkku setelah sampai didepan pintu rumahnya.“ Wa’alaikumsalam… ohh… Nadia, ayo masuk dulu Nad!!! “. Uswah mempersilahkan aku masuk kedalam rumahnya. “ Tunggu sebentar ya nad, aku mau siap – siap dulu, nanti bila Lila dan Dina datang kita bias langsung berangkat kesekolah..! ““ iya.., tapi jangan pake lama, nanti aku jamuran lagi?!! “ jawabku sambil tersenyum kecil. Tidak lama setelah Uswah berseragam sekolah rapi, Lila dan Dinapun datang. Aku dan Uswah segera keluar rumah dan memakai sepatu dengan cepat. “ yoo.. kita berangkat “ ucap Uswah setelah kami berpamitan dengan orang tuanya. Lalu kami bertiga menganggukan kepala dengan serempak sambil tertawa.

Diperjalanan menuju sekolah, seperti biasa kami berempat bercerita dan bercanda tanpa merasakan teriknya matahari yang menyengat tubuh, karena kami terlalu asyik dengan candaan konyol Uswah yang membuat perut kami terasa sakit. Alangkah senangnya kami setiap hari seperti ini, selalu bersama – sama. Ketika angkutan umum yang kami tumpangi sudah mengantarkan sampai tujuan dan pergi berlalu. Tiba – tiba Lila berbicara dengan kerasnya dan membuat aku, Dina dan Uswah kaget. “ HEYY!!! Udah jam12.30 loh!!! “ Lila berusaha memberi tahu bahwa kami sudah terlambat masuk sekolah. Kami berlari – lari saling mendahului, sambil tertawa dan berbicara, “ tungguin donk, jangan cepet – cepet?!! “. Huh… lelahnya kami setelah berlari-larian. Kami berjalan perlahan menuju kelas dan sampailah didepan pintu kelas, lalu mengetuk pintu dan membuka dengan mengucapkan salam, lalu mencium tangan guru yang memang sudah duduk lebih awal sebelum kami datang.

Kami mengawali hari dengan terlambat masuk sekolah yang memang bias di bilang ritinitas kami setiap harinya. Dan sekarang waktunya kami memandangi papan tulis yang penuh dengan huruf dan berbaris membuat shaf dan banjar. 1 jam, 2 jam, 3 jam, begitu bosannya kami belajar, hingga akhirnya bel istirahatpun berbunyi. “ Akhirnya istirahat juga…!!! “. Kataku dalam hati.“ Nad, La, Din keluar yoo, Laperr nehh!!! “ ajak Uswah. Kamipun berdiri lalu berjalan keluar kelas menuju tempat yang bisa menghilangkan rasa lapar dan haus. “ Makan… Makan…!!! Kita mau makan apa neh??? “ Tanya Uswah dengan bawelnya dan ketidak sabaran dia menunggu jawaban kami.“ Terserah deh “ ucap Dina dengan singkatnya. Tanpa menunggu jawaban dari aku dan Lila, Uswah pun mengambil bakwan dan memasukkannya kedalam mulut, lalu dilanjutkan Lila, aku dan Dina. Setelah selesai makan, kamipun beranjak menuju masjid untuk melaksanakan shalat ashar.

Waktu istirahatpun berakhir. Kami berempat memasuki kelas yang memang sudah ramai dengan teman – teman sekelas kami. Melanjutkan pelajaran yang tertunda. Iseng – iseng saat guru menjelaskan, aku menjaili Uswah dengan mengikat ujung jilbabnya. Teman – teman yang berada dibelakangku tertawa – tawa dan berkata “ Dasar Jail?!! “. Aku hanya senyum – senyum kecil saja karena takut Uswah menyadarinya. Bel pulang berbunyi, waktu kami pulang. Menaiki angkutan umum bersama, lalu berpisah ditengah perjalanan. “ aku duluan ya…!, Bye…bye….!!! “ ucapku sambil melambaikan tangan kepada Lila, Dina dan Uswah.

Selama ini kami selalu bersama, baik susah maupun senang kami lewati bersama dan kami bersahabat cukup lamanya. Tetapi kenapa sudah beberapa hari ini, aku merasa persahabatan kami agak merenggang. Aku bersama dengan Lila sedangkan Uswah bersama dengan Dina. Aku merasa ada pembatas antara kami. Kepercayaan sedikit hilang. Banyak hal yang aku dan Lila sembunyikan ataupun sebaliknya Uswah dan Dina. Aku merasa cukup kehilangan dan sedih. “ Ada apa dengan persahabatan kami saat ini?? “ tanyaku dalam hati.“ apa penyebab ini semua, apakah bisa kami seperti dulu lagi, bercanda tawa dengan lepasnya tanpa adanya pembatas antara kami? “ sekali lagi aku bertanya pada diriku, tetapi sampai saat ini aku belum mendapatkan jawabannya.

Kupandangi foto dalam bingkai, foto kami berempat. Aku, Lila, Dina dan Uswah. Sungguh satu persahabatan dalam hidupku yang begitu indah dan mengasyikan. Satu hal yang kusesali saat ini, “ mengapa aku harus egois dan diam saat melihat persahabatan ini hancur??! “ sesalku dalam hati. Perjalanan hidup memang panjang. Membawa pertemuan dan perpisahan. Hari ini aku bertemu, besok aku berpisah. Namun seiring waktu berjalan kita tetap harus menjalani hidup ini dan memikirkan tujuan masa depan kita. Walaupun persahabatan ini bukan yang pertama bagiku, tetapi satu persahabatan inilah yang dapat membuat hari – hari dalam hidupku menjadi lebih bermakna. Creative : Nhumodz

Cerpen in English

cerpen- Cry Because of my own pain[ part I]

Today, I just remember about your face, your laugh, your smell, your kindness, everything in between, I gotta learn something because I know you will never come back.. And yeah, it is hurt me badly.. "Elise!" you said my name too many times.."Hey Mike! How are you?"Im fine.. you?""I'm... Sorta fine.. But a little bit dizzy-weezy because of Math exams yesterday..""Hmm. Did you do well?""Of course I am!! I'm smart!" Then again, I keeping my mouth shut, cuz I know he doesn't like me when I'm do that.. "Okay, no more words about yourself? Okay then, bye!""Bye......" I realize, I'm still in love with him.. And I know, I can't live without him... My mouth trembling, my heart still pounding, I don't know what to do without him.. And yes, I just found my self still missing him.. He has girlfriend.. her name is Sharron.. Well she's my bandmates, but she's the most beautiful girl that I know, she's the one for him..After that, I go to my class, and then listening to music to reduces the memory of him... "KKKRRRRIIINNNGGG" the second bell ring 2 times.. Everybody goes in, and I just pull out my earphones and put it in my bag.. I opened my diary, I realize I wrote all his name in my diary, I just, can't imagine how I fell in love with him.. And yes, this is my story, and my eyes starts to tear it self.. "OhmyGod Lise?? Why are you cryiingg??" said Riza"It's okay.. I'm okay.." i said to her.. with smiling on my face..God, I'm still in love with him..

cerpen Horor

cerpen- buku harian dan pena kematian part 6(ending)

Saat aku terjaga, ternyata kedua tanganku telah terikat kuat di sebuah tiang penyangga di depan ruang UKS sekolah. Di depanku, terlihat samar sesosok bayangan. Terdengar pula desah nafas yang cukup cepat seperti orang yang habis melakukan hal yang berat atau mungkin habis di kejar setan. Pandanganku masih kabur. Aku tak dapat melihatnya dengan jelas siapa itu. Saat mataku mulai berfungsi normal, aku dapat melihat Tomi terbaring lemas berlumuran darah. Ia masih bernafas. Di sampingnya, Kevin sedang terduduk lesu. Aku melihatnya sedang merintih sambil memegangi tangannya yang terluka.“Kevin…kenapa gue diikat disini..? lepasin gue..!!!”,teriakku.Kevin terkaget mendengar ucapanku.“kamu udah sadar Vir…? Syukurlah…”,tanya Kevin seraya bersyukur.“kamu pikir aku kenapa…? Cepetan lepasin ikatan ini.. sakit nih..”,kataku,merintih.“eeeh…iya…iya.. ”,jawab Kevin kikuk.Kevin pun melepaskan tanganku dari ikatan kuat itu. Sejenak kami terdiam. Mataku tertuju ke arah Tomi yang terbaring tak berdaya di samping Kevin,kemudian menujukan pandangan sinis ke arah Kevin.“bisa kamu jelasin tentang apa yang terjadi..?”,tanyaku dengan pandangan sinis tertuju ke Kevin.Kevin mengangguk. Terbaca keraguan dari gerak-geriknya.“jelasin Vin..kenapa Tomi bisa sampai kayak gini…kenapa aku terikat disini..? terus kenapa tangan kamu terluka……? Jelasin sama aku Vin..”,tanyaku,memaksa.Sedetik,dua detik, tiga detik. Kesunyian benar-benar terasa saat itu. Kevin tak kunjung berucap.Kevin memandang ke arahku dengan raut muka serius. Sedetik kemudian terdengar penjelasan dari mulut Kevin.“tadi malem kamu kerasukan arwah setan itu Vir.. kamu berusaha nyerang aku pake pena itu.. aku ngehindar dan lari. Tapi kamu ngejar aku terus. Entah dari mana kamu tiba-tiba bisa pegang pena itu buat nyerang aku. Padahal sebelumnya pena itu aku yang pegang. Aku lari dan bersembunyi di kamar mandi deket ruang guru. Ternyata disitu aku nemuin Tomi tergeletak.”,Kevin menjelaskan.Aku terdiam mendengar penjelasan Kevin. Apakah benar apa yang di katakana Kevin..? haruskah aku mempercayainya..?tapi kalau bukan dia siapa lagi yang bisa memberiku penjelasan yang lebih baik dari Kevin..?? tomi..? itu bahkan lebih tidak mungkin lagi karena sejak awal Tomi telah tak sadarkan diri. Hatiku terus saja beradu tanya dengan otakku.“ya..empunya buku itu pernah berjanji akan membuatku melakukan hal keji yaitu membunuh sahabatku sendiri.. dan hal itu hampir saja terjadi.. maaf Kevin..maafin aku.. aku udah biarin Arwah sialan itu jajah tubuh aku buat pelampiasannya.. aku bener-bener gak sanggup ngelak Vin..maafin aku…”,kataku dengan nada dan wajah menyesal.“ya sudahlah..semuanya telah terjadi.. kita ambil saja hikmah dari semua ini.. gak usah ngerasa bersalah gitu.. santai aja..”,Kevin menenangkan. Aku hanya tersenyum tak membalas perkataan Kevin.Matahari mulai menjanjikan kehidupan untuk hari ini dengan sinat hangatnya. Itu tandanya hari sudah mulai pagi. Terlihat peti itu bertengger manis di bangku yang tak berada jauh dari kami. Aku segera berdiri dan berjalan gontai dengan kepala yang masih terasa berat menuju ke arah dimana benda itu berada. Ku raih benda itu. Aku menoleh ke Kevin untuk meminta persetujuan.“Bakar Vir..bakar..”,Kevin meyakinkan.Aku mengangguk tanda setuju.kemudian ku raih sebuah korek api di saku rokku. Dengan yakin aku mulai menyulutkan api ke buku tersebut kemudian memasukkannya ke dalam peti yang juga telah terisi pena kematian tersebut. Tak butuh waktu lama untuk benda rapuh yang biadap itu terbakar. Akupun berbalik arah menghampiri Kevin dan Tomi yang terkulai lemas. Ku pososikan diriku berada di antara Kevin yang sedang merintih kesakitan dan Tomi yang masih tak sadarkan diri. Ku tujukan pandanganku ke arah peti dan isinya yang sedang terbakar. Terdengar sebuah jeritan nyaring yang benar-benar menyakitkan telinga yang berasal dari dalam peti tersebut. Jeritan yang lebih menyakitkan dari pada yang ku alami beberapa waktu lalu. Senyuman kemenangan tersungging manis di ujung bibirku.‘Lelah sekali rasanya..’,bisikku dalam hati.Ini adalah petualangan menegangkan yang benar-benar nyata dalam hidupku. Lebih ekstrim dari mimpi yang paling ekstrim sekalipun. Akhirnya aku, sahabatku Tomi dan sahabat baruku Kevin dapat kembali menjalani hidup yang normal seperti dahulu meskipun tanpa Niko dan juga Rista. Biarpun Tomi dan Kevin mengalami luka yang cukup serius,setidaknya mereka masih hidup dan tetap menjadi sahabatku.***TAMAT***

cerpen Lucu

cerpen- Moni......... I'm beastiful(kaos kaki Moni)

Aku menatap cermin dengan bahagia. Kuamati wajahku dengan seksama. Aku gak terlalu jelek (bagiku nihh...yg syirik silakan minggat). Mataku emang bengkak sebelah kiri, gak tau penyebabnya apa, salah ngidam kali emakku. Bibir ini tebal. Hidungku mancung...sedikit. Hehehe, dan lihatlah bintik-bintik jerawat di pipi yang berlemak ini. Coba tengok rambutku, tebal dan berminyak, warnanya kemerah-merahan. Ah..gak papa, mungkin aq keturunan bule ye. He-eh...Ketika mataku turun ke bawah, kulihat tubuh yang tambun terutama bagian perut dan betis. Itu bukan masalah. Badan gendut, itu artinya aq sehat dan gak sia-sia emakku kasih makan."Moni.....cepetan bekacanya. Uda jam setengah tujuh." teriak emak.Kayak gak tau orang lagi seneng aja, gerutuku. Jarak rumah n skul emang jauh banget. Apalagi aku harus jalan kaki karena letak istana gubuk reyok ini di gang sempit yang berliku-liku. Cepat-cepat kucari kaos kaki yang uda banyak lobang anginnya itu. Tiga menit berlalu dan aku belum menemukan benda itu. Sementara emak uda teriak-teriak sampe saingan sama ustad Abdullah yang lagi ngaji di Mesjid yang letaknya 100 meter dari rumahku."Oh, my God" seruku kebarat-baratan sambil menepuk dahi."Bahasa mana tuh ?"tanya emak bingung."Gak tau mak. Moni sering dengar aja"jawabku sekenanya."Jadi apa hubungannya dengan kaos kaki yang ilang sebelah?" tanya emak lugu."Ya...justru karna itu mak. Biasanya kalo kaos kaki Moni ilang sebelah, biasanya pertanda buruk bagi Moni. Tapi kalo ilang dua-duanya, mungkin Moni bakal dapet jodoh kali ya, mak." seruku mendramatisir suasana."Mon, jangan pikir yang macem-macem. Buruan berangkat.""Kaos kaki Moni sebelahnya?"tanyaku. Emak mondar-mandir serius kayak setrikaan berusaha mencari jawaban."Pinjam ama tetangga aja!" sergah emak cepat.AKhirnya, aku keliling kampung tuk minjem kaos kaki. Siapa sih yang mau minjemin kaos kakinya? Napasku udah terengah-engah. Bibi Pon pun mau meminjamkan kaos kaki. Tapi.............. oh no.....coba tebak kenapa aq kagettt?

cerpen Agakhot

cerpen- IDOLA dan KEKASIH

Apartement tinggi ini tetap berdiri kokoh ketika tubuh kekarmu menindih tubuhku dengan angkuhnya. Apartement ini dengan kuatnya menancap kedasar bumi seperti kamu dengan sekuat tenaga membobol bagian belakang tubuhku. Dekapanmu yang erat seolah tak ingin melepaskanku. Nafas gairahmu terasa hangat dibelakang leherku. Lolonganku yang panjang membuat bekas cengkaraman tangan dipundak kokohmu. Kita tidak menginginkan malam bergulir tergantikan pagi. Kita tidak ingin melihat cahaya bintang dan bulan ditenggelamkan sinar matahari. Malam ini milik kita berdua. Aku dan kamu. Lelaki idola dan kekasihku. Lima finalis idola nusantara dari wilayah timur telah terpilih. Arro salah satunya. Menumpang gerbong ekonomi, Arro berangkat ke ibukota. Satu-satunya jembatan yang bisa menghubungkan mimpi menjadi nyata. Ada bangga yang aku tinggalkan. Ada mimpi yang aku ingin wujudkan.Jarum jam belum lama meninggalkan angka sepuluh. Suasana ramai menyapaku ketika memasuki ruangan audisi. Dendangan lagu-lagu popular terdengar, menambah ramai suasana. Pandangan mataku menyapu bersih deretan kursi, melihat apa masih ada kursi yang kosong. Tersisa dua kursi. Baris kelima dari depan. Aku berjalan, mencari celah diantara kursi-kursi yang sudah diduduki. Akupun duduk dengan diam.Tidak terlalu lama, datang pemuda berperawakan tinggi besar. Hidungnya mancung. Wajahnya begitu rupawan. Diatas matanya yang menawan terdapat alis yang tebal. “Maaf. Kursi ini kosong?” tanya dia.Ketajaman tatapannya membuat bibirku membeku dan kaku.“O……eee…….ee………kosong………..kosong…!”“Silakan!”Dia duduk seenaknya. Beselonjor dan mengangkang. Memaksa mataku memandang turun. Ada yang menonjol keras diantara selangkangannya. Dengan telapak tangannya yang kuat, dia menjabat telapak tanganku yang lembut.“Dandy”“Arro”Setelah perkenalan, kami sama-sama terdiam. Ada kebisuan diantara kami. Tapi mataku yang mampu berbicara. Untuk melihat seluruh lekuk tubuhnya.Tiba-tiba wajahnya yang rupawan menoleh padaku. Memburamkan penglihatanku.“Kamu dari wilayah mana?”“Timur.”Jawabannya singkat tapi meninggalkan kelembutan ditelinga Dandy. Bahkan terlalu lembut bagi suara laki-laki.Wajah Arro mencerminkan ketampanan bercampur dengan kecantikan. Hidung dan dagu menampakkan ketampanan. Bibir tipis dan bulu mata yang lentik mempercantik wajahnya.“Aku dari wilayah barat,” kata Dandy tanpa mau berpaling memandangku.Dandy memaksa mengusir kebisuan dan berusaha mencairkan kebekuan bibirku. Obrolan kami terhenti. Para juri terlihat berdiri didepan.“Sebelum audisi, kami bagi jadi dua kelompok, barat dan timur,” kata seorang juri. Pembagian itu membuat kami terpisah. “Aku kesana dulu ya……..”pamitnya sambil tersenyum.Dandy berlalu meninggalkanku. Berjalan kesudut ruangan dan bergabung dengan teman-temannya dari wilayah barat.Jarak memisahkan kami. Lewat jembatan hati, kedua mata kami menyeberangi jarak itu. Hanya untuk saling beradu pandang. Cintapun berpendar dari kedua pasang mata kami. Setelah babak juri yang memilih, terpilh dua belas finalis untuk melaju kebabak sms yang memilih. Masing-masing kelompok mewakilkan enam finalis. Semua finalis akan hidup bersama dalam satu rumah, enam kamar selama tujuh puluh lima hari. Dengan aturan satu kamar untuk dua finalis, berlainan kelompok dan tidak boleh berlainan jenis. Undian telah dimulai dan memilih Arro dengan Dandy tinggal dalam satu kamar. Cintapun mendatangi kamar kami untuk merajut hati penghuninya. Selama tiga purnama, bulan selalu menemani tiap show kami. Menerangi cinta kami sampai malam yang kami nanti.Babak sms telah memilih Arro dan Dandy menjadi dua finalis idola nusantara. Ada kebahagiaan terpancar dari kedua mata kami, tapi tak mampu menutupi kesedihan nurani kami. Seminggu kami terpisahkan oleh dinding-dinding kokoh dan pintu-pintu yang terkunci. Terjebak kesunyian. Sepi. Sendiri dalam kamar. Panggung besar telah disiapkan. Lampu-lampu sudah dinyalakan. Sorot kamera siap menyambut show kami. Para juri datang untuk memberi komentar yang terakhir. Keluarga Arro dan Dandy hadir, berbaur dengan Arroker’s dan Dandy-Dandy’s. Untuk mendukung sang idola nusantara.Jutaan sms telah memilih Arro menjadi idola nusantara tahun ini. Airmataku meluapkan kegembiraan dan menjalar keseluruh Arroker’s yang hadir malam itu. Mimpi itu berubah wujud menjadi kepopuleran, kesuksesan dan kekayaan. Malam grandfinal telah usai. Perayaan kemenangan dikamar Arro baru dimulai. Ucapan selamat, datang bagai angin malam yang menghembuskan hawa dingin dihati Arro. Keluarga yang datangpun belum mampu menghangatkan.Kehangatan baru Arro rasakan ketika tangan Dandy yang membentuk pelukan dan bibir Dandy yang berucap selamat.“Selamat ya……Ro,” bisik Dandy. Bisikan yang menghangatkan telingaku. Bisikan yang menggugah birahiku. Dia mengucap kata janji untukku. Hadiah akan diberikan jika penghuni kamarku tinggal mereka berdua. Hadiah yang terbungkus kekekaran dan kekuatan. Hadiah tanpa pita. Hanya butuh gairah untuk membukanya. Hadiah yang memberiku kegembiran abadi, kesenangan sejati dan kebahagiaan tiada henti.Malam telah larut. Keluarga Arro pulang membawa kegembiraan. Meninggalkan kebanggaannya. Para juripun berpamitan pulang meninggalkan kami berdua dikamar tanpa kecurigaan. “Ini hadiah untukmu Ro……kejantananku milikmu malam ini,” ucapmu menggoda.Dalam kamar yang dikelilingi dinding-dinding moral. Terkuat dan terkokoh. Tapi kami mampu melubanginya dengan tatapan, sentuhan, cumbuan dan cucuran keringat. Hingga kita robohkan dinding-dinding moral itu dengan cairan lengket yang tersembur keluar dari selangkangan.

Sabtu, 04 Desember 2010

cerpen pendidikan

CERPEN: PENDIDIKAN ZAMAN SEKARANG

Raja Hutan adalah Macan,Suatu hari sang Raja Mengadakan rapat kepada penasehatnya yaitu monyet dan Para Menteri-Menteri HutanSang Raja : Nyet gimana yah cara kita membangunkerajaan hutan kita biar berkembang.......Para Mentri : Gi mana k'lo kita adakan sekolah....Sang Raja : maksud mu, seperti manusia lakukan????Para Mentri :bukan,maksud ku kita bikin sekolah dengan 5 jurusanSang Raja : apa aja???Para Mentri : Jurusan terbang, berlari, memanjat, menggali, berenang...gi mana Sang RajaSang Raja : bagus kita lakukan besaokakhirna terbentuk lah sekolah dengan 5 julusan : terbang, berlari, memanjat, menggali dan berenang1 minggu pertama sekolah sudah berjalan dengan rancar......minggu 2 masih rancar sampai minggu ke tiga masih rancarpada minggu ke 4 ada masalah... akhirnya Sang Raja memanggil Penasehatnya dan mentri-mentri nyaSang Raja : gi mana Penasehat apa ada masalah yg terjadi???????????Penasehat : banyak masalah RajaSang Raja : di mana Masalah nya??Penasehat : di jurusan terbang pastilah kita tau raja terbang siapa tidak lain adalah elang tidak diragukan lagi k'lo buat terbang bagai mana dengan ayam kasihan kan. banyak sayap ayam yg patahjurusan berlari jaguar cepat larinya, bagai mana dengan kura-kurajurusan memancat, monyet jagoh nya bagai mana dengan gajahjurusan menggali, tikus, kerinci cepat menggalinya bagai mana dengan gajah tangan nya sangat besarjurusan berenang,kura-kura emang kalah untuk masalah berlari tapi k'lo soal berenang dia tidak kalh dengan mahkluk laut bagai mana dengan jaguarSang Raja: oooooooohhhhhhhhhhhh.......

Jumat, 03 Desember 2010

cerpen cinta

CERPEN- WHEN I LOOK AT YOU
Siang itu, di sebuah bangku taman, seorang gadis menunggu seorang yang sangat dia sayangi. Seorang yang tak pernah dia sangka akan menjadi pacarnya. Dia baru jadian dengan orang itu 2 hari lalu dan hari ini dia akan kencan dengannya! Aah, senangnya… katanya dalam hati. Tapi kesenangan itu sedikit berkurang karena orang yang ditunggunya sepertinya akan datang sangat terlambat. Dia sudah menunggunya lebih dari setengah jam. Tapi tak apa. Aku akan menunggunya. Aku ingin saat dia datang dia akan berkata, “Resha Ananda! Maafkan aku karena aku datang terlambat.” Yaa, dia selalu memanggilku dengan nama lengkapku. Aku tak tau kenapa, katanya sih, dia suka dengan namaku. Senangnya! Serunya dalam hatinya.Ketika sedang menunggu, ponsel Resha berbunyi. Dia mengangkatnya. Resha mendengar penjelasan seseorang diseberang sana. Tentang sebuah kenyataan pahit yang melandanya. Mendadak kakinya lemas, tubuhnya bergetar, jantungnya berdebar cepat, air matanya mengalir deras. Saat orang itu menutup telponnya, Resha menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Dia nyaris histeris. Tak dia sangka itu akan terjadi. Tak pernah dia sangka orang itu akan meninggal dalam kecelakaan. “Tuhan! Tolong katakan padaku kalau itu bohong!” Jeritnya. Dicky Dermawan, orang yang dia tunggu, orang yang dia sayangi, orang yang baru 3 hari menjadi pacarnya kini pergi. Dia kecelakaan dalam perjalanan kesini. Seminggu ini, Resha terus-terusan mengurung diri dikamar. Untung saja sekolahnya sedang libur, jadi dia tidak akan dimarahi karena bolos. Di kamarnya, dia hanya duduk diatas kasurnya dan terus-terusan menangis. Besok dia akan mesuk sekolah. Entah apa yang akan dikatakan teman-temannya padanya untuk menghibur dirinya. Ya, hampir 1 sekolah tau kalau Resha dan Dicky sudah jadian. Tapi kini, entahlah. Mungkin dia akan dikasihani oleh teman-temannya. “Pagi, Resha.” Sapa Dina, teman sebangkunya sejak SD sampai SMP sekarang. Resha hanya tersenyum paksa pada Dina. “Ah, Sha. Itu… soal…” “Dicko? Ya. Gue nggak apa-apa. Lo nggak usah khawatirin gue. Gue baik.” Kata Resha sok tegar. Dina jadi kesal dibuatnya.“Sha! Gue tau lo sedih! Gue tau lo mau nangis, kan? Iya, kan? Lo nggak perlu sok tegar didepan gue! Lo pikir gue siapa? Gue Dina, Sha. Sahabat lo sejak SD! Lo inget itu! Lo nggak akan pernah bisa bohong sama gue!” bentak Dina. Dina melihat mata Resha yang berkaca-kaca. “Maafin gue, Sha…” Resha menangis dalam pelukan Dina. Dia tidak peduli kalau harus dilihati satu kelas. Yang penting dia bisa sedikit mengurangi kesedihannya kehilangan Dicky. Beberapa bulan berlalu. Resha yang duduk dikelas 3SMP sudah melewati ujian akhir. Dia dan teman-temannya akan memasuki SMA yang mereka tuju. Resha dan Dina masuk SMA yang sama. Dan lagi-lagi, mereka satu kelas. “Ada yang nggak masuk, ya?” tanya Resha pada Dina. “Iya. Katanya, sih, cowok. Dia sakit, besok baru masuk katanya.” Jawab Dina. Hari pertama MOS mereka lewati dengan lancar. Resha sudah mengenal temannya hampir satu kelas. Hanya beberapa yang belum, termasuk anak cowok yang bakal masuk besok. Besoknya, anak cowok itu masuk, tapi Resha belum sempat melihat anak itu karena kakak OSIS mereka terus-terusan menghalangi mereka. “Kalo mau kenalan sama temen baru, ntar aja kalo MOSnya udah selesai!” kata Kira salah satu anggota OSIS disekolahnya. Saat istirahat, Dina minta izin sebentar ke toilet dan meninggalkan Resha disalah satu meja kantin disekolahnya. Resha hanya duduk sambil meminum minuman yang dipesannya. Hingga sesuatu memancing pandangannya. Nggak mungkin. Ini nggak mungkin… dia… diakan udah… pikirannya terputus karena Dina yang tiba-tiba datang. “Maaf nunggu lama.” Kata Dina. Resha hanya tersenyum sambil celingak-celinguk kesana-sini. “Lo kenapa, Sha?” “Aah, nggak! Hehe. Ah, gue ke toilet bentar, ya!” Resha berlari meninggalkan Dina yang kebingungan. Saat ditoilet, dia mencuci mukanya berkali-kali. “Nggak. Pasti tadi gue salah liat. Gue nggak mungkin liat Dicky. Itu juga nggak mungkin kembaran Dicky. Dicky nggak punya kembaran. Tapi… tapi…” dia kembali mencuci mukanya. Setelah itu dia bergegas kembali menemui Dina. Saat sedang berjalan, ada seseorang yang memanggilnya. “Oi. Barang lo jatuh, nih.” Kata orang itu. Resha menoleh ke orang itu. Resha terbengong saat melihat seorang cowok yang berdiri dihadapannya sambil memegang kalungnya yang diberikan Dicky untuknya. Seluruh badannya menegang dan dia tidak bergerak sedikitpun. Resha sangat terkejut melihat cowok didepannya. “Woi. Kok lo bengong, sih? Lo denger… eh!” Resha pingsan didepan cowok itu. Lalu cowok itu membawa Resha ke UKS dan kebetulan Dina melihat itu. Dina tidak kalah terkejut saat melihat cowok yang menggendong sahabatnya itu. Tapi untungnya, Dina tidak pingsan seperti Resha. Saat Resha terbangun, Dina tidak bertanya apa-apa padanya. “Din, gue dimana?” tanya Resha. “Di UKS. Lo pingsan.” Saat itu juga, cowok yang tadi ditemui Resha datang. Untuk kedua kalinya, Resha dan Dina terkejut. Cowok itu menghampiri Resha. Wajah Resha memucat. Dengan cepat dia menggeser tubuhnya menjauh dari cowok itu hingga dia hampir terjatuh. Untung saja cowok itu menarik tangannya, jadi dia tidak jadi jatuh. “Lo kenapa, sih? Kayaknya lo kalo ketemu gue kayak orang liat hantu.” Kata cowok itu. “Lo… Di… Di… cky… Dicky? Dicky!” Resha memeluk cowok itu. Cowok itu kaget dan berusaha melepaskan diri dari Resha. Resha tidak melepaskan pelukannya. “Aku tau kamu belum meninggal, Ky. Aku tau kamu masih hidup. Kamu nggak mungkin ninggalin aku…” “Heh! Gue Rico! Bukan Dicky! Rico!” kata cowok yang bernama Rico itu. “Apa? Tapi… muka kamu itu mirip Dicky. Tapi kamu bohong.” “Jangan seenaknya ganti-ganti nama orang, ya!” “Dicky? Iya, lo bukan Dicky. Karena, Dicky nggak mungkin bentak-bentak gue.” “Emang bukan! Nih. Gue ke sini cuma mau balikin kalung lo!” setelah memberikan kalung milik Resha, Rico pergi meninggalkan Resha. “Sha…?” “Bukan, ya? Ternyata bukan… dia… bukan Dicky…” Kata Resha sedikit pelan. Dina berdiri disamping Resha sambil menatap prihatin sahabatnya itu. Saat kembali ke kelas, Resha sangat terkejut karena cowok yang mirip dengan Dicky sekelas dengannya. Dia cowok yang kemarin tidak masuk. Yang lebih membuat dia terkejut, ternyata cowok itu duduk di sebelah mejanya. Resha berusaha tidak mempedulikan cowok itu. Begitu juga Rico. Beberapa bulan Resha lewati dengan baik, walaupun ada saja masalah yang melibatkannya dengan Rico. tapi itu tidak mebuat Resha gelisah sedikitpun. Suatu hari, Rico menghampiri Resha dan mengajaknya ngobrol. Awalnya Resha tidak mau, tapi akhirnya dia mengalah dan mau ngobrol dengan Rico. ternyata ngobrol sama Resha enak juga. Pikir Rico. “Oke. Karena nggak ada yang mau lo obrolin lagi sama gue, gue mau…” “Kenapa lo ngejauh dari gue?” tanya Rico memotong omongan Resha. Resha terdiam menatap Rico. “Jawab. Apa ini karena wajah gue yang mirip cowok lo yang udah meninggal?” tanya Rico lagi. Ya Tuhan, kenapa dia bisa tau? Yang tau soal ini kan cuma temen SMP gue sama… ah! Jangan-jangan… Dina! Resha larut dalam pikirannya dan mendiami Rico. “Itu semua nggak ada hubungannya sama lo.” Kata Resha. “Tentu aja ada! Kalo lo terus-terusan anggep gue kayak mantan lo itu, gue jadi nggak bisa temenan sama lo.” Kata Rico. “Untuk apa temenan sama gue? Toh, lo punya banyak temen, kan? jadi lo nggak rugi kalo nggak temenan sama gue.” “Tentu aja rugi! Gue itu bukan cuma mau temenan sama lo. Gue tuh pengen lebih deket sama lo, karena gue suka sama lo!” kata Rico tegas. Resha terkejut. Tanpa sadar, air matanya keluar. Rico kaget melihat Resha menangis. Saat ingin memberikan sapu tangannya pada Resha, Resha sudah keburu menghindar. “Jangan. Gue mohon jangan…” kata Resha. Rico diam menunggu ucapan Resha selanjutnya dengan bingung. “Gue mohon… jangan suka sama gue… jangan… gue nggak bisa…” tiba-tiba Rico memegang pundak Resha dan menatap lurus matanya.“Kenapa? Apa karena lo masih keinget cowok lo itu kalo liat gue? Iya? Res, gue beda sama dia. Gue ya gue, dia ya dia! Please, Res. Jangan hanya karena hal ini gue jadi nggak bisa deket sama lo. Lo yang bikin gue jatuh cinta sama lo, jadi jangan bikin gue jadi sakit karena lo!” kata Rico. “Co! Emang siapa yang suruh lo suka sama gue, hah? Gue nggak pernah minta lo suka sama gue, kan? Makanya jangan nyalahin gue kalo gue nolak lo! Walaupun hanya karena ini!” kata Resha menepis tangan Rico. “Gue nggak akan diem gitu aja, Res. Gue bakal bikin lo lupain cowok lo itu dan bikin lo suka sama gue!” kata Rico sedikit berteriak. Resha tidak mendengarkan ucapan Rico dan langsung berlari menuunggalkan Rico. Dia menemui Dina dan bertanya soal Rico yang mengetahui tentang Viko, mantannya, yang telah meninggal. “Maafin gue, Sha. Dia maksa gue terus. Akhirnya gue jadi keceplosan.” Kata Dina. Dia terus-terusan meminta maaf pada Resha. “Sha. Rico serius nembak lo?” “Ya.” jawab Resha singkat. Dina tidak melanjutkan ucapannya karena melihat Resha yang sedikit kesal. Sesuai ucapan Rico, dia terus-terusan mendekati Resha walaupun cewek itu selalu menjauh darinya. Sebulan berlalu dan Rico tetap mendekati Resha. “Pagi, Res. Nih, gue bawaan lo komik seru. Lo suka komik, kan? Nah, ini…” “Gue nggak butuh!” ketus Resha sambil menepis tangan Rico. Rico jadi kesal dibuatnya. “Res! Kenapa, sih, lo nggak bisa buka sedikit hati lo buat gue? Beri gue kesempatan buat bikin lo lupain cowok lo itu.” Kata Rico. “Gue pengen… gue pengen… tapi nggak bisa… gue nggak bisa…” “Kenapa?” “Karena… gue nggak mau kejadian beberapa bulan lalu itu terjadi lagi.” Kata Resha terdengar lirih. Dia berusaha menahan air matanya yang mau keluar. “Oke. Gue bakal kasih lo kesempatan buat mikir. Gue bakal nunggu lo, Res. Gue janji, kalo lo jadii cewek gue, gue nggak akan nyakitin lo. Gue nggak akan bikin lo sedih. Gue janji.” Setelah bicara seperti itu, Rico pergi meninggalkan Resha. Resha tidak bergerak sedikitpun. Dia hanya menunduk dan meremas rok abu-abu pendeknya. Air mata jatuh ditangannya. Dia menagis. Selama seminggu ini, Rico tidak pernah mendekati Resha. Kalo boleh jujur, Resha sedikit merasa kesepian karena Rico tidak menganggunya lagi. Tapi mau gimana lagi, itulah keputusan dia. “Lo mau terima dia?” tanya Dina. “Nggak. Gue cuma sayang sama Dicky.” “Gitu?” Dina diam. Itu adalah percakapan singkat terakhir mereka. Besoknya dan selama 3 hari Resha tidak masuk sekolah. Dia sakit. Mendengar itu, Dina dan Rico memutuskan untuk menjenguk Resha yang dirawat di Rumah Sakit. Sesampainya di Rumah Sakit, mereka mencari ruangan Resha dan bergegas kesana. Dina membuka pintu kamar rawat Resha dan melihat Resha yang terbaring diatas kasur dengan sebuah selang yang menjulur tangannya. Dina dan Rico mendekati Resha. Resha tersenyum melihat kedua temannya itu datang menjenguknya. “Lo baik-baik aja?” tanya Rico. “Ya.” sejenak mereka hanya terdiam diruangan yang sepi itu. Tiba-tiba, mata Dina terpaku pada tangan kanan Resha yang diperban. “Tangan lo kenapa?” tanya Dina penasaran. “Ah, mm… itu… em…” Resha terdengar ragu menjawabnya. Lalu seseorang mewakili Resha menjawab pertanyaan Dina. “Dia melukai tangannya dengan silet karena dia teringat lagi sama Dicky.” Kata Tio, kakak Resha. “Pas malem-malem, bokap, nyokap, sama gue denger Resha nangis histeris dikamarnya sambil manggil-manggil nama Dicky. Dia kunci kamarnya dari dalem. Terpaksa gue dobrak. Pas udah kebuka, dia lagi duduk dipojok lemari pakaian dengan tangan kiri megang silet dan tangan kanan yang banjir darah.” Lanjutnya. “Res! Lo kenapa jadi kayak giini, sih? Jangan hanya karena Dicky, lo jadi bertindak bodoh kayak gini!” kata Rico. Resha hanya diam mendengar ocehan Rico. “Ah. Lo pasti Rico? Yang mukanya mirip banget sama Dicky. Ya kan?” tanya Tio. “Iya,” kata Rico bingung. “kenapa?” “Ah! Jadi lo orangnya! Bagus, deh, kalo lo dateng. Soalnya, waktu Resha pingsan, dia tuh…” “AAAARGH!!” teriakan Resha membuat orang-orang yang ada dikamar itu kaget. “Tio! Tangan lo tadi nyenggol tangan gue! Sakit tau! Reseh lo emang! Pergi sana! Hush, hush.” Usir Resha. “Yee, lo pikir gue kucing, pake ‘hush, hush’ segala!” kata Tio. Lalu dia keluar sambil berdumel tidak jelas. Resha menghela napas lega saat Tio keluar. “Kenapa, sih?” Tanya Dina bingung. “Nggak.” Selama beberapa menit mereka isi dengan obrolan tentang sekolah. Sampai akhirnya Resha menganti pokok pembicaraan dengan sebuah kalimat yang membuat Dina dan Rico bingung. “Co, boleh gue minta tolong?” kata Resha. “Minta tolong? Boleh. Apa?” tanya Rico. “Mm… gue pengen lo bilang ‘Resha Ananda! Maafkan aku karena aku datang terlambat.’. Bisa?” kata Resha ragu. Saat melihat wajah Rico yang terheran-heran, Resha kembali membuka mulut. “Ah, kalo nggak mau juga nggak apa…” “Resha Ananda! Maaf karena aku datang terlambat.” Ucap Rico memotong ucapan Resha. Resha dan Dina terdiam kaget. Terlebih Resha. Beberapa detik, Resha hanya diam. Kemudian senyumnya mengembang dan menatap Rico senang. Lalu dia menundukkan kepalanya dalam-dalam.“Makasih… Ky…” ucap Resha sedikit pelan membuat Rico dan Dina tidak terlalu jelas mendengar ucapan Resha. Rico dan Dina melihat Resha yang menyeka air matanya. Dia menangis. Tidak lama kemudian, Tio datang dan menyuruh Rico dan Dina pulang karena Resha butuh istirahat. “Din, tadi lo denger nggak ucapan terakhir Resha?” kata Rico saat mereka keluar dari kamar rawat Resha. Dina hanya menggeleng dan menatap Rico bertanya-tanya. “Gue denger dia ngomong ‘ky’. Menurut gue tadi dia bilang makasih bukan buat gue.” “Ha? Maksud lo?” “Iya. Kayaknya itu buat Dicky. Mungkin dia nyuruh gue ngomong kayak tadi untuk ngewakilin di Dicky.” Kata Rico. Dina hanya manggut-manggut mengerti. Besoknya, Resha belum bisa masuk sekolah. Saat istirahat sekolah, Rico mengajak Dina makan bareng dikantin. “Tumben lo ngajak gue makan bareng, Co?” kata Dina. “Ada yang pengen gue certain.” Kata Rico sambil senyam-senyum membuat Dina bingung. “Apa? Kayaknya berita bahagia, nih?” tebak Dina. “Bener banget!” “Apa?” tanya Dina penasaran. “Tadi pas lagi belajar, si Resha SMS gue.” Kata Rico membuka cerita. “Ha? SMS? SMS apaan?” tanya Dina makin penasaran. Rico mengambil HPnya disaku bajunya dan mengotak-atik HPnya. Lalu Rico menyodorkan HPnya ke Dina dan menyuruhnya membaca sebuah pesan yang sudah tertera dilayar HPnya. Dina membaca pesan itu dengan seksama. Seketika senyumnya mengembang. SMS From : Resha - +062857********When I look at u, I thought you were with him. but my guess is wrong. you differ with him. very different.Initially I want to assume you were not there because you made me remember someone I care about. but never thought you actually approached me and make my heart began to open to receive you.Now, I want to ask for permission to you ...What I can fill your days like before you always fill my days?“Akhirnya dia buka hati dia buat gue juga…” kata Rico. Dina hanya mengangguk dan memberikan selamat pada Rico.

cerpen putu wijaya

Cerpen Putu Wijaya
Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.

"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."

Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.

"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"
Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."

"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."

Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.

"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."

Pengacara tua itu meringis.
"Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"
Pengacara tua itu tertawa.
"Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.

"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."

Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.

"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog."
"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."

"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.

Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.

Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."

Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.

"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."

"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.
Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
"Bagaimana Anda tahu?"

Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."

Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.
"Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."

Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
"Antara lain."
"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."
Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
"Jadi langkahku sudah benar?"
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.

"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!"
"Bukan juga karena uang?!"
"Bukan!"
"Lalu karena apa?"
Pengacara muda itu tersenyum.
"Karena aku akan membelanya."
"Supaya dia menang?"

"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."
Pengacara tua termenung.
"Apa jawabanku salah?"
Orang tua itu menggeleng.

"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang."

"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."

"Tapi kamu akan menang."
"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."

"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."

Pengacara muda itu tertawa kecil.
"Itu pujian atau peringatan?"
"Pujian."
"Asal Anda jujur saja."
"Aku jujur."
"Betul?"
"Betul!"

Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.
"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"

"Bukan! Kenapa mesti takut?!"
"Mereka tidak mengancam kamu?"
"Mengacam bagaimana?"
"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?"

"Tidak."
Pengacara tua itu terkejut.
"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"
"Tidak."
"Wah! Itu tidak profesional!"
Pengacara muda itu tertawa.
"Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
Pengacara muda itu terdiam.
"Bagaimana kalau dia sampai menang?"
"Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!"
"Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
Pengacara muda itu tak menjawab.
"Berarti ya!"
"Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"

Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.

"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok."
"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."

"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"

"Betul."
"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.

Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."

Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."

Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.

"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."
"Tapi..."

Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."

Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.

"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."

Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.

Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.

"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?" ***

cerpen- janjiku

Lebih dari lima belas menit aku terus membolak- balik kan kertas hasil pengukuran PH dari air hasil desalinasi puluhan tabung yang baru saja aku peroleh. Ku pandangi kertas tersebut dengan teliti sementara ku acuhkan layar computer masih terus menatap cerah dengan berbagai desktop yang ada. Gemuruhnya angin diluar rumah yang menyapu hampir seluruh wilayah ini tak mampu mengalihkan perhatian ku, ibarat pasak yang telah menancap aku tetap kukuh meneruskan pekerjaan ini. Akhir pekan ini memang tidak seperti biasanya bagiku, terlihat lebih sibuk disebuah kamar kecil yang aku klaim sebagai laboratorium pribadi.“Apa’an ini…?“ Gumam ku dalam hati melihat sederetan keganjilan pada data itu.“:Ruli,…Cepat mandi ini dah Sore,…”Teriak ibu memecah keheningan pikiran ku.”Iya Mah bentar…” Jawab ku cepat.Bergegas aku menuju kamar mandi dan menunaikan perintah beliau . Untuk kali ini memang aku tidak maen-maen, meskipun aku memang terkenal paling cuek diantara teman-teman ku tapi tetap saja aku paling takut kepada ibu.”Ruli jangan lupa air di bak mandinya dipenuhin dulu,......” Teriak ibu dengan lantang.”Iya mah bentar lagi kok”, ucap ku sambil memperhatikan air yang mengalir di bak mandi.Ada yang aneh mungkin itu yang dirasakan ku tatkala melihat warna air yang lain dari biasa,sejenak aku hiraukan Namun tatkala basuhan pertama, aku mulai merasakan gatal pada kulit. Hal ini membuatku aku teringat akan data hasil pengukuran PH, Akupun tersadar bahwa memang keanehan pada data tersebut benarnya juga. Jumlah PH air akhir-akhir ini terus meningkat mungkin itu yang kulitku gatal tadi... Terka ku. Menyadari keadaan tersebut, aku segera beranjak menuju pusat pengumpulan air bersih di pinggir pantai.”Hei Ruli,.......mau kemana kamu,........? Teriak Ibu.”Bentar Bu Ngecek Kondisi tangki dulu”....... Ucap ku sambil berlalu. Sejatinya memang air diwilayah ini merupakan air hasil desalinasi bukan mengandalkan air dari resapan tanah maupun air hujan. Karena memang proses desalinasi ini sendiri adalah proses pemisahan yang digunakan untuk mengurangi kandungan garam terlarut dalam air garam hingga level tertentu sehingga air dapat digunakan.Aku sendiri bukan orang baru yang berkutat dalam bidang ini. Karena memang aku adalah lulusan sarjana teknik mesin ITB yang tengah bekerja untuk pemerintah kota Jayakarta dalam mengembangkan tekhnologi desalinasi di kota ini. Sejenak Pikirku langsung tertuju pada membran reverse osmosis yang biasa digunakan untuk menyaring air dalam proses desalinasi. Aku tidak gegabah untuk langsung mengecek membran revese Osmosisnya mengingat bagian tersebuat terletak dipaling dasar dari mesin desalinasi yang membuatku ogah-ogahan untuk membongkarnya. Hmmm,.... nampak aku mulai bingung yang terlintas dari raut wajahku yang bercucuran keringat.Ckr...ckr.ckr..... terdengar suara dari bagian tabung pendinginan hasil distilasi...Sontak perhatianku sepenuhnya tertuju. Hmm,... Sejenak aku memegang tabung tersebut,...”Akhhh........... Teriak ku kencang”.... Huh aku lupa ternyata panas juga tabung ini ”ucapku dalam hati”. Di tabung-tabung inilah aku dan ratusan warga lain yang tinggal diwilayah kejaten Jayakarta timur menggantungkan harapan untuk mendapatkan air bersih. Keadaan ini memang berbeda saat aku mendengar cerita dari ayah. Beliau pernah berkata bahwa dulu di belakang rumah kami masih terdapat sungai kecil. Meskipun kotor tapi banyak warga yang menggantungkan hidupnya mulai dari mencuci, mandi, sampai buang air semua tumpah tuah disana. Dengan segala kondisinya dapat dikatakan alam masih bersahabat. Jakarta nama itu yang masih ku ingat dari ayah, Sebuah kota kecil di ujung utara pulau jawa. Ibarat Artis Hollywood kota kami menjadi kiblat jutaan warga indonesia waktu itu. Akupun sangat bangga saat ayah berkata dulu kota kami ini merupakan ibu kota negara indonesia, terbayang dalam benakku kemegahan kota ini. Menurut Beliau semua itu berubah tatkala Kota Jakarta berubah menjadi padat dengan berbagi transmigran yang mencoba mengadu nasib di kota kelahiran kami ini. Bantaran Sungai, kolong Jembatan menjadi tempat favorit untuk mendirikan bangunan. Hasil nya dapat ditebak banjir mulai menjadi kebiasaan tahunan bahkan lebih parah beranjak menjadi kebiasaan bulanan. Pesatnya industri pula lah yang turut andil dalam menghancurkan kota ini. Limbah-limbah dengan entengnya di buang kesungai-sungai yang membuat semakin parahnya kerusakan lingkungan. Tiada lagi warna sungai yang cokelat muda, perlahan namun pasti berubah menjadi hitam legam. Pencemaran pun telah merambah pada pencemaran udara dan pencemaran tanah. Sumur-sumur warga yang semula menjadi tempat menggantungkan harapan untuk mendapatkan air bersih, kini menjadi sumber malapetaka akibat pencemaran yang ada. Dengan keadaan yang semakin memburuk ditambah lagi munculnya berbagai jenis penyakit yang bermunculan membuat Gelar Ibu Kota Indonesia lepas dari kota kami. Pada tahun 2020 lalu Ibu kota telah dipindahkan ke Balikpapan sebuah kota yang diklaim masih memiliki kelayakan untuk ditempati. Habis Manis sepah manis di buang itu mungkin kata yang cocok bagi kota Jakarta ku tercinta ini. Setelah sepenuhnya memanfaatkan dan menghancurkan kota kami arus transmigran itu kini telah berganti, Industri-industri pun segera angkat kaki dari kota kami. Dalam kebingungan kami yang lebih engkau kenal dengan warga betawi sebagian kecil telah memilih untuk bertahan dan mencoba mengembalikan keadaan kota ini. Menurut Beliau masalah awal yang muncul saat itu adalah masalah air bersih. Sebenarnya memang masih ada pasokan air dari PDAM. Namun memang harganya sangat mahal, tentunya uang kerja kami satu bulan paling Cuma bisa buat tagihan air selama satu minggu. Hal ini masih belum ditambah dengan kondisi air yang sering mati dan macet. Oleh karena itu aku tidak heran dimasa itu air jauh lebih berharga karena memang semua orang membutuhkannya. Aku tidak bisa membayangkan keadaan ayah dan ibu saat itu. Teknologi desalinasi inilah yang pada awalnya di gembor-gemborkan bisa menjadi dewa penyelamat bagi daerah yang terkena krisis air seperti wilayah kami. Namun pada kenyataannya diawal kemunculannya teknologi ini belumlah cukup bisa diandalkan. Karena memang generasi pertama dari desalinasi membutuhkan biaya investasi dan perawatan yang sangat mahal. Jadi hanyalah hotel-hotel bintang lima , industri- industri serta rumah-rumah para pejabatlah yang baru bisa merasakannya. Ayah juga menambahkan untungnya tekhnologi ini terus berkembang dari semula hanya mengandalkan sistem destilasi yang menggunakan sistem pemisahan air laut dari garamnya dengan menggunakan perbedaan titik didih dengan air murni. Sehingga nantinya air murni akan tercipta dari uap air laut yang di destilasi. Melalui proses destilasi ini air tawar yang dihasilkan tidaklah mencukupi mengingat daya hasil max perhari yang dihasilkan kurang lebih 5000-10000 liter air dengan mesin bertenaga 800-1000psi oleh karena itu dibutuhkan biaya operasi yang besar untuk menguapkan dan menyedot banyak air laut kedalam tabung saat proses destilasi. Bagikan mentari di pagi hari sistem desalinasi menggunakan membran menjadi harapan baru bagi masyarakat kota Jayakarta. Sistem itu sendiri menggunakan dua metode yakni reverse osmosis (RO) dan electrodialysis (ED). Pada proses tersebut air laut dipisahkan dari garam terlarutnya dengan mengalirkannya melalui membran water permeable. Permeat sendiri dapat mengalirkan air karena adanya perbedaan tekanan antara umpan dan produk,yang memiliki tekanan dekat dengan atmosfer. Dimana proses ini tidak melewati tahap pemanasan ataupun perubahan fasa. Dengan teknologi ini air laut yang di desalinasi mampu dihasilkan lebih banyak sehingga mencukupi untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat, untungnya saat ini teknologi ini telah jauh bekembang dari semula membutuhkan bantuan energi minyak bumi dalam pengolahannya saat ini di beberapa wilayah Jayakarta telah menggunakan Energi alternatife seperti Sel Surya dan Kincir angin.Sejenak aku teringat janjiku pada ayah sebelum beliau meninggal untuk mewujudkan impian beliau mengalirkan kembali air sungai dibelakang rumah kami. Meskipun sampai saat ini aku belum berhasil. Tapi tetap aku yakin kelak dengan teknologi desalinasi ini aku bisa mewujudkan impian beliau untuk kembali melihat aliran sungai di belakang rumah kami, meskipun beliau telah tiada akan ku usahakan generasi dimasa mendatang khususnya anak-anak ku sudah bisa kembali melihat aliran sungai itu bukan lagi menjadi cerita dongeng sepeti yang ku dengar dari ayah.”Ckr....ckr...ckrrr....” suara mesin itu kembali menyadarkanku sejenak.Hmmm... Gawat aku baru sadar kandungan air garam yang masih ikut terlarut membuat tabung-tabung ini mengalami korosi,....”Sial Korosi ini juga telah menyerang gear-gear pada pompa penyedot air sehingga menimbulkan suara itu” ... Tebak ku.”Rasanya aku mau menangis kalau mengingat kembali janjiku pada ayah, sementara keadaan mesin ini kini telah seperti ini.” Andai beliau masih hidup, aku akan terima bila beliau mengganggapku telah gagal mengemban janji itu.

cerpen motivasi

cerpen dunia milik kita
Seorang gadis berambut panjang berlari terburu-buru melewati koridor di sekolahnya. Rambut hitam pekatnya yang dikuncir, bergoyang seiring ia melangkah. Vera, nama gadis tersebut. Seorang gadis SMP yang cerah, periang dan ramai. Langkah jauhnya berhenti ketika ia sampai di pintu kelasnya. Nafasnya terengah-engah. Ruang udara di sekitarnya serasa menyempit. Dengan lemah, ia membuka pintu.

Pintu kayu coklat yang hampir bobrok itu terbuka dengan suara aneh. Ya, aneh bagi orang di luar sekolah itu, namun hal yang biasa bagi mereka yang mengajar dan belajar di sana. Suara deritan pintu itu tak jauh berbeda dari suara-suara pintu yang terbuka di dalam film horor, dimana ketika sang tokoh utama membukanya, sang hantu akan muncul dari dalamnya.

Vera menghela nafas lega ketika tahu bahwa guru yang mendapat bagian mengajar di kelas gelap itu belum masuk. Kelas yang berukuran tak besar itu, dihiasi sarang laba-laba di setiap sudut langit-langitnya. Lantainya ditutupi ubin berwarna putih pucat, tak luput dari noda. Ventilasi yang berada di setiap jendela kaca pun diselimuti debu yang tebalnya melebihi 2 senti. Kayu yang membingkai jendela tersebut sudah lapuk, habis dimakan usia dan juga rayap.

Di balik wajah-wajah polos anak-anak di ruang kelas, banyak yang mereka pikirkan. Tentang cinta, sahabat, hidup yang rumit... Segalanya ada di sini. Menyelesaikan masalah bersama sudah menjadi kebiasaan sendiri, sekaligus membuat hidup lebih bermakna.

---------------------------------------------------------------------------------

Tak seorang pun mampu melukiskan masa depan. Dari yang muda, dewasa, maupun tua. Mereka tak akan mampu menggambarkan apa yang terjadi di masa depan. Termasuk diriku, seorang gadis biasa, dengan kehidupan pas-pasan, tanpa modal untuk memastikan seberapa suksesnya aku di masa depan.

Setiap malam aku berdoa, menatap langit yang dihiasi bintang-bintang. Mengapa Tuhan memberiku hidup seperti ini?, tanyaku setiap hari, tanpa kenal lelah, tanpa kenal bosan. Aku tak bisa mengerti dengan keadaan ini semua. Di luar sana, banyak orang-orang kaya yang memiliki mobil dan rumah mewah. Setiap hari mereka bisa pergi shopping ke mall bersama teman-teman mereka, orang tua mereka, anak-anak mereka serta keluarga mereka. Sedangkan kami yang berada di desa kecil ini? Apa hal mewah yang bisa kami lakukan?

Beribu pertanyaan selalu menggangguku. Tentang apa yang bisa kulakukan saat ini. Tentang apa tanggapan Tuhan mengenai diriku. Dan tak lupa tentang keadaan ayahku yang berada di atas sana. Bagiku, kehidupan tak jauh dari siksaan, namun jauh dari kebahagiaan.

Jika di atas sana ada langit dan di bawah ada tanah, lalu, di lapisan apa aku berdiri? Apa yang kulakukan ini? Untuk apa aku melakukan semua ini? Sekolah, membantu ibu dan bermain bersama teman-teman di sungai.

Tak lupa juga, ketika aku tertidur di bawah pohon rindang pada siang hari setelah memancing. Aku kerap bermimpi tentang sebuah pelangi yang berada di hadapanku. Jika aku melangkah ke atas pelangi itu, kemana pelangi itu akan membawaku pergi? Ke tempat yang indahkah? Atau malah sebaliknya?

Segalanya telah terjawab setelah berjuang selama 10 tahun bersama sahabat dan ibuku. Dengan usahaku belajar dengan giat, aku bisa kuliah di sebuah universitas di Jakarta. Meski ibu tak memberiku uang tiap bulan, aku terus berusaha meraih uang dengan mengamen, bekerja paruh waktu di restoran terdekat, bahkan membantu seadanya di pasar. Dan dalam waktu yang tak sebentar, manager restoran tempatku bekerja menunjukku sebagai sekretaris manager.

Beberapa tahun kemudian setelah itu, aku akhirnya mendapatkan cukup modal yang kudapat dari hasil bekerja dan juga beasiswa berkat prestasiku untuk membuka sebuah perusahaan yang berakhir sukses sampai hari ini. Aku yakin sahabat-sahabatku di luar sana sama suksesnya seperti aku, bahkan lebih.

Sekian pertanyaan yang berada di pikiranku, terjawab sudah.

Namun, masih ada sebuah pertanyaan besar yang masih ada di pikiranku saat ini...

Ibu, apa kau melihatku di sana, bangga akan hasil yang kuusahakan selama ini?

cerpen Islami

CERPEN SEORANG IKHWAN DAN AKHWAT

Di sebuah desa yang sangat kecil dan dipenuhi banyak sekali persawahan hiduplah seorang anak Adam ( Ikhwan ) yang setiap harinya selalu bekerja, belajar demi masa depannya dan demi membahagiakan kedua orang tuanya yang telah meninggal ( Yatim Piatu ), walaupun hidupnya kurang begitu mewah tapi prestasi yang diraihnya cukuup baik. Pada suatu hari orang tersebut bertemu dengan seorang Akhwat yang penampilannya saangat islami, ikhwan tersebut pun terpesona melihat penampilan seorang Akhwat tersebut. Ikhwan tersebut pun selalu membayangkan wajah si Akhwat itu sampai – sampai konsentrasi belajarnya pun hilang.., pada keesokan harinya dia bertemu lagi dengan Akhwat itu dan si Ikhwan itu pun ngobrol dengan Akhwat yang saaangat diseganinya, setelah selesai ngobrol si Ikhwan itu pun pulang kerumahnya yang sangat kecil…,Pada malam hari si Ikhwan itu tidak bisa tidur karena selalu memikirkan Akhwat yang diseganinya, karena tidak bisa tidur akhirnya Ikhwan itu pun melalukan Sholat sunnah yaitu sholat sunnah Tahajud sambil memohon kepada Allah agar hati Akhwat yang diseganinya menyukainya, sambil menangis dia memohon kepada Allah, air matanya bagai tsunami aceh…..”””Keesokan harinya Ikhwan itu pun melanjutkan aktivitasnya yaitu belajar sambil bekerja, pada saat dia sampai kampus dia tidak sengaja berjumpa lagi dengan Akhwat yang saaangaat diseganinya, perasaan si Ikhwan itu pun semakin tidak karuan, keringat bercucuran bagai banjir bandang wasior, siIkhwan itu pun kemudian langsung mengatakan kepada siAkhwat bahwa dia menyukainya..“ afwan ukhti saya ingin ngomong sesuatu “ Kata siIkhwan sambil gemeteran“ ngomong apa??” kata SiAkhwat dengan ekspresi yang binggung“ Ana’ tuh sebenarnya………..”“ Sebenarnya apa???.....“ Ana’ menyukai ukhti.. tapi kalau ukhti ga suka juga tidak mengapa…..“ Oooohh ittuu yang mau akhi omongin….“ Teruss gimana ukhti?? Apakah hati ukhti juga menyukai ana’??“ Gimana yach…” siAkhwat dengan ekspresi wajah yang malu…“ Begini aja yaa akhi didalam islam kan tidak ada yang namaya “pacaran” jadi akhi bila ingin lebih mengenal ana’ ada baiknya dengan cara ta’aruf ajah…“ Boleh ukhti, itu adalah cara yang paaling baik dan dianjurkan didalam islam, nanti ana’ Insya Allah akan lebih mengenal ukhti lebih dalam apakah ukhti bersedia?? Kata siIkhwan dengan ekspresi wajah yang girang..“ Silahkan saja akhi….” Kata siAkhwat dengan ekspresi wajah yang juga girangSetelah ngobrol paanjang lebar.. siIkhwan itupun langsung pulang kerumahnya dan langsung sujud syukur walau pun belum tentu siAkhwat itu menerimanya tetapi dia tetap mensyukurinya. Keesokan harinya siIkhwan itu main kerumah orang tua siAkhwat, kemudian ngobrol dengan ayah dan ibu siAkhwat dengan penuh keseriusan. Beberapa hari kemudian siAkhwat dan kedua Orang tuanya main kerumah siIkhwan, dengan mengetuk pintu sebanyak 3 kali akhirnya pintu pun dibuka oleh siIkhwan. Dengan perasaan yang sangat tidak karuan siIkhwan itu pun mempersilahkan masuk siAkhwat dan kedua orang tuanya kedalam rumahnya sangat kecil, dengan menyajikan teh hangat dan beberapa makanan ringan siIkhwan itu pun ngobrol panjang lebar dengan kedua orang tua siAkhwat. Pada akhir pembicaraan ternyata kedua orang tua siAkhwat menerima siIkhwan untuk menjadi suami anaknya, begitu juga dengan siAkhwat ternyata beliau sudah menyukai siIkhwan sejak pertama berjumpa. Akhirnya mereka berdua pun menikah dan hidup dengan Sakinah mawaddah warahmah